Kebaikan yang Terasa Buruk
September 26, 2017![]() |
Ilustration: pinterest |
Kau
terlalu baik bagiku, maka aku meninggalkanmu.
Terasa benar-benar aneh memahaminya.
Sama seperti potongan percakapan di film The Perks of Being a Wolf Flower yang
kurang lebih berbunyi, “Why do nice people choose the wrong people to date?”
Guru bocah lelaki yang bertanya itu memberi jawaban amat sederhana. “We deserve
someone we think we deserve.”
Seseorang
yang layak bagi kita.
Seperti apa seseorang yang layak
tersebut? Tentu itu tergantung bagaimana kita memandang diri sendiri. Sebab
cara kita memandang diri menentukan cara kita memandang orang lain. Sesuatu
yang mengantarku pada perspektif baru tentang seperti apa orang baik itu.
Tentang baik yang membuat seseorang justru meninggalkanmu. Baik yang…, kau
tahu, membuat orang lain merasa buruk saat di dekatnya.
Kadang memang, kita tak mencari sosok
yang membuat terkagum-kagum, sosok yang terasa tidak teraih, yang begitu
tinggi. Kita hanya mencari yang sederhana. Orang yang kebaikannya sering tidak
tampak, tapi bersamanya kita merasa lebih baik.
Maka suatu hari nanti, jika seseorang
meninggalkanmu dengan alasan tersebut, pahamilah. Saat ia mengatakan kau
terlalu baik bagiku, bisa jadi ia sebenarnya sedang berujar: kau membuatku
merasa buruk.
Aku belajar tentang kaidah penting
ini. Konsep kesataraan ini. Sebab hubungan cinta selalu tentang keseimbangan.
Segala yang tak berimbang selalu rentan menghancurkan suatu bangunan.
Ketika ada satu yang superior, si
inferior akan menanggung guncangan lebih. Saat ada satu merasa berbuat lebih,
sebagai pecinta sejati, yang satu pun ingin memberi lebih.
Namun, bukan itu. Bukan tentang siapa
yang lebih banyak memberi, bukan soal siapa yang paling mencintai. Karena
hakikat kebaikan adalah membuat pecinta berlomba-lomba terhadapnya. Sekali
lagi, bukan itu.
Yang tengah kubicarakan adalah sikap.
Sikap kita terhadap cinta, sikap kita kepada pasangan. Bagaimana cara
meletakkan kebaikan itu ke dalam hubungan sehingga membuat kita sama-sama
bertumbuh, bukan justru menjadi hama bagi salah satu atau keduanya.
Itu mengapa kebaikan sulit
didefinisikan, sebab ia tak baku. Seperti cinta, selalu butuh penyesuaian-penyesuaian
tertentu.
Kita mungkin merasa telah melakukan
yang terbaik, tapi belum tentu sudah benar dan sesuai. KIta mungkin merasa
memberi banyak, tapi belum tentu memberi apa yang pasangan kita butuhkan. Mari
memeriksa diri sendiri sebelum terpikir melempar kesalahan. Karena mereka yang
saling mencintai dengan besar pun, dapat dibelah dengan ketidakcocokan kecil,
tidak saling memahami yang berujung rumit.
1 komentar
Sering di balik kalimat, "kamu terlalu baik" ada kalimat "maaf ada orang lain" yang tidak tersampaikan.
BalasHapusJadi menurutmu, Fiqah *menyambung komentar di postingan sebelumnya* Yang terbaik (baca: layak) itu seperti apa :))
Say something!