Siapa yang Lebih dari Siapa?
Agustus 29, 2013
Kubongkar serakan surat-surat. Selayaknya biasa, senang
kubuka lipatan dan membaca ulang surat-suratku sendiri. Kau ingat, kita pernah
bertanding perihal siapa di antara kita yang lebih banyak menuliskan siapa, aku
ataukah kau?
Kau rajin memintaku menulis tentangmu, menagih
postingan-postinganku, memesan tulisan perihal ini-itu. Sebab kau tahu
barangkali, aku sedikit pemalas. Aku juga biasa minta dituliskan, juga biasa
memintamu tidak menulis sekalian. Sebab kutahu barangkali, kau rajin menulis,
menulis bahkan yang tidak suka kubaca sekalipun.
Sekarang, pada perkara siapa yang malas-siapa yang rajin,
siapa yang akhirnya lebih dari siapa dalam mengabadikan kita? Ingat, kali
terakhir kita membincangkan ini, belum ditemukan pemenang pasti satu di antara
nama kita berdua. Aku berkeras bahwa lebih banyak aku. Tentu saja, catatanku
yang biasa kau baca tidaklah sebanyak yang pernah mataku baca darimu. Tapi,
tetap, kau berdalih bahwa lebih banyak dirimu. Katamu aku hanya tak tahu,
katamu aku hanya harus menunggu. Banyak tulisan yang kau simpan, lagi-lagi—katamu.
Tapi, mana kau tahu sebanyak apa pula tulisan-tulisan yang kusimpan tanpa
publikasikan?
Sudahlah, jawaban itu mungkin sudah tertakdir tetap hidup
dalam dugaan. Aku juga tidak lagi tertarik tahu. Seharusnya, pekerjaan ‘mengabadikan
kita’ tidak layak dijadikan pertandingan, selain sebagai kemestian. Aku masih
menulis perihal dirimu hampir tiap hari, tidak pernah untuk memenangkan
sesuatu, hanya ingin kupanjangkan usia kita dalam kenangan yang tidak berwujud
abstrak semisal ingatan. Sebab tulisan bukankah punya usia yang lebih panjang
dari usia itu sendiri? Ah, lupakan soalan itu.
Pernah
juga, kita bertanding perihal cinta siapa yang paling besar di antara kita. meski
aku yakin masih penuh terhadap diri sendiri bahwa cintaku masih lebih besar
padamu daripada kau untukku. Pemenangnya siapa? Sekali lagi, jawaban untuk ini
sudah takdirnya pula selalu hidup dalam dugaan. Abadi, dalam pengetahuan Tuhan.
Maka, aku tak juga tertarik tahu. Tugas para pencinta hanya mencintai sebanyak-banyaknya,
sebaik-baiknya, kan? Aku mencintaimu itu sudah tugasku pada diriku sendiri, tak
ada urusan dengan cintamu yang entah banyak atau sedikit, yang entah buruk atau
baik, yang entah tulus atau munafik. Kutunaikan hak hatiku, itu sudah
kewajibanku, tentu saja.
Sekarang,
setelah perpisahan yang atas maumu itu, akhirnya lebih tertarik aku tahu; siapa
yang lebih rindu dari siapa, dan siapa yang lebih banyak mengingat dari siapa,
pula siapa yang lebih banyak menangis dari siapa, juga siapa yang lebih besar
lukanya dari siapa, lalu siapa yang lebih dulu sembuh dari siapa, siapa pula
yang lebih pertama menanggalkan janji dari siapa. Ketertarikanku makin
bertambah meski tidak lagi kita bertanding. Aku sedih sekali, sakit sekali,
tiap mengingatmu, tiap mengingat ini, tapi disaat bersamaan, aku bisa berbangga.
Meski tidak pada kita, aku telah menang terhadap diriku sendiri dalam banyak
perihal ini. Bahkan, kau tahu, Sayang, di hari saat kau katakan lelah, sudah
kau tunjuk aku sebagai pemenang pada pertandingan-pertandingan yang—tadi—seharusnya
tidak perlu kita ketahui pemenangnya.
Tapi,
duh sayang beribu sayang, baru
kuketahui bahwa ada kemenangan yang ternyata begini nelangsa—tak manis rasanya.
Kalau sudah begini, baru aku mengerti. Kemenangan yang panjang lebar
kubicarakan tadi abstrak semua. Seabstrak kekalahanku tepat ketika kau bersulang
kopi bersama kawan perempuanmu saat kulepaskan tubuhku di tengah jalan raya dan
tak satu manusia pun sudi menabrak!
Makassar, 29 Agustus 2013, Pukul. 02.30 WITA
4 komentar
ide tulisannya bagus... dinamikanya juga bagus, endingnya unik
BalasHapusterima kasih, yah. bloofers? :)
BalasHapusseringkali tulisan bisa menjadi album lain yg berisi cerita pertemuan kita dengan banyak peristiwa kehidupan :')
BalasHapusterima kasih sudah mampir :) sering-seringlah main ke sini. :)
BalasHapusSay something!