Jalan Jalang
Juli 16, 2013
Petang
kembang.
Kaki-kaki
kita masih terpajang lantang di antara dua mata hari. Perih, katamu pernah, tak
layak dipikul sendiri. Di dua pipiku, kau lucuti air-air yang tak habis. Di
satu hatimu, kucuri cari genang-genang sesal yang selalu kering. Rupanya
pikirmu mungkin, perempuan hanya tahu menangis. Rupanya pikirku lagi, sedih dan
sendu tak selalu sepasang pekasih.
Senja
tandang.
Segala
senang terbang ke sarang. Pada lengang tatapan-tatapan kita yang
luak,
suara ikut tumbang. Sedepa masa menenggang air dari kelenjar mata.
Kita
menanggalkan lambang-lambang ingatan lantas berlomba
memenangkan
detakan. Mencari pada dada siapa luka rembang paling karam.
“Hanya
demi itukah perpisahan harus kita undang?” tanyaku tanpa bicara
Kau
katupkan napas, meruntuhkan pandangan ke bayanganku yang memanjang,
pula diam.
pula diam.
Malam
pasang.
Sepantasnya
apa yang digenang kenangan? Kueja sekata demi sekata rupa-rupa tanya yang
memendar. Lagi. Menanti lidah yang mana yang lebih repih.
Betis-betis
kita makin dikulum makin dingin. Aku tahu kau benci gigil.
“Menumpanglah
di rerumpang takdir.” hantar dadamu di kesunyian terakhir, “Bukankah kita telah
banyak merampungkan sandiwara? Biarkan ia berbagi tapang. Sesekali getir lalu
senang.” Bola matamu lalu jatuh. Malam pecah persis di mata kakiku.
Makassar, 2013
*diikutkan dalam #duetpuisi
0 komentar
Say something!