Senggama Rindu yang Meniadakan
Mei 09, 2012
“Kau tahu kenapa aku sangat menyukai
malam padahal pagi dan siang
selalu lebih agresif menyediakan cerita-cerita menarik?” Lelaki paruh baya
dengan rambut hitam yang masih mengkilap itu menyelancarkan pandangannya jauh
ke garis cakrawala. Terkesan dalam. Ah, tidak. Aku kena pancing lagi. Menyerah,
ku buka sedikit rahang.
“Kenapa?”
“Agar ada waktu untuk Tuhan
menciptakan cerita tentang dirimu hingga hari ini, Nak.”
Aku tersenyum sambil mendaratkan
pungggung tanganku ke bahu Bapak. Ia selalu bisa membumbui suasana sepekat
apapun pada hari. Tidak, tepatnya pada hatiku. Ia menatapku sekilas. Tanggung.
Aku masih menyusun kewarasan pada
pelupuk mata yang terus tengadah menghadap
bulan. Pernah ada yang bilang, “Cari saja aku pada setiap permulaan
tanggal Hijriah. Di langit sana. Saat rindumu sampai padaku dan aku tidak disana. Ya.
Pada sabit itu. Tidakkah kau lihat itu serupa senyumku?”.
Ah,
Tapi ini purnama, bukan?
***
Hidup
itu seperti roda, Kawan. Berputar!!
Benar. Kali ini baru bisa kalimat
itu berseluncur rapi dan penuh isi dari lidahku yang turut pucat merasai putarannya
yang cukup drastis. Lain memang. Jika dulu asam tak pernah sudi menubruk
gulingan senyumku, sekarang manis lelah terus menjadi arsitek tanpa bayaran di
dasar hati. Lain memang. Aku tak terbiasa tidak mendapatkan apa yang kuharap!. Menyerah?. Ah, Tidak. Aku masih akan
memeliharanya. Rapat, jauh di dalam.
Jika
bisa itu disebut cinta.
***
Pulanglah,
Dik. Kumohon berilah sedikit ruang maaf untukku. Atau tak bisakah kita bicara
sebentar? Sebentar saja untuk aku menjelaskan. AKU MOHON...
Pola yang tak jauh beda. Nada messagge-nya kali ini tetap saja serupa
hambar yang tak sudi kutelan. Mengherankan bagaimana kebersamaan yang
memekarkan putra-putri di antara kami tetap tak menyisakan “paham” untuk
tabiatku disela hati atau fikirannya. Kapan pernah aku luluh untuk lagu semacam
itu !?
***
“Ndak
lapar kamu, Nduk? Sudah
malam. Masuklah.”
“Endak,
Bu’. Aku masih mau disini. Ibu bujuklah Bapak untuk istirahat dulu. Aku sejak
tadi tak mau didengarnya.”
“Bukannya
kamu yang tak mau mendengarkanku?”
“Walah.
Kamu dan Bapakmu ini sama saja keras kepalanya. Ibu tahu sia-sia juga hasilnya
rayuan ibu di kuping kalian. Mantul semua. Yowes.”
Ibu
berlalu. Kembali merunut tatanan piring di meja makan. Aku tahu ujungnya. Pun
Bapak. Ibu juga tak akan menyentuh sesendok pun nasi tanpa kami. Kurasa benar
kata Ibu. Aku dan Bapak sama kerasnya. Namun, tak terkecualikan Ibu sendiri,
kukira.
“Lalu sekarang ?”
“Apa, Pak?”
“Apa maumu, Nak?” Aku menunduk. Mencipta jeda sejenak untuk, yah, kutahu akan ada bertubi pertanyaan
jika Bapak sudah melempar mata ibanya padaku sedekat ini.
“Penyelesaian apa yang sudah kau
temukan?. Tak kasihan kau pada suami dan anak-anakmu?”
“Aku masih berpikir, Pak.” Jika
ingin tak lebih pedih, aku harus menjawab. Apa saja.
“Berpikir saja tanpa tindakan nyata
tak akan pernah berbuah mantap. Bapak tahu kamu, Nak. Mengapa selalu berdusta?”
Wajahku mendongak anggun dengan
kernyit yang melengkung di dahi. Menagih.
“Kau tak bisa membuka hatimu. Ah
bukan. Tepatnya tak pernah mau, bukan?”
“Sudah, Pak.”
“Tidak, Nak. Itu tidak pernah kau
mulai.” Sanggah itu mengalir tenang membersamai palingan wajah Bapak yang
berarti perbincangan selesai.
Ah,
Apa aku berdosa merindukanmu, Mas? Apa aku salah menaruh hatiku?. Lalu
bagaimana? Kita terlanjur jauh tak menggapai. Terlalu jauh.
***
Hilal namanya. Perawakannya agak
gempal, tinggi, meski tak juga cukup tinggi. Kulitnya kecokelatan, Wajahnya
cerah dengan senyum yang tak pernah bosan melengkung disana. Ia sabit. Dan
sabit seperti senyumnya. Menawan.
Aku membersamainya lebih dari
separuh remajaku. Mencintainya lebih dari setengah usiaku. Tak lelah. Tak
pernah. Ah,
Tapi roda itu berputar. Ya, berputar.
Laki-laki itu terhenti tepat disaat
kesadaran terbit untuk harus kembali menata lagi sematan gambar masa depan yang
terlanjur kuputuskan. Aku tahu.
Mana ada manusia yang
berhak memutuskan takdirnya. Tapi percayalah, aku memilihnya dengan segenap
kewarasan saat itu, dan sayangnya kini aku tak bisa memilih ulang. Ia kawan
akrab hati. Dan pendamping tak terganti bagi jiwa ini.
Aku
harus menuntaskannya segera.
***
Aku
tunggu di belakang X jam 18.50 tepat. Aku harus berjumpa denganmu, Mas.
Kususuri jalan dengan tegar
yang kusempurnakan. Belum waktunya bahagia. Belum waktunya membuang napas
panjang yang mulai tak sabar terpompa keluar. Aku mengenal Naya. Secepat
lintasan hati berubah, secepat itu pula terkaan meleset. Wanitaku ini tak
pernah bisa ditebak dengan kewarasan.
“Belakang X”, Ini adalah kode
rahasia antara aku dan Naya. Belakang X yang berati “W” untuk Warung Pecel tempat kami
pertama kali berjumpa, yang lalu menjadi seperti tempat pulang setiap kami
bertubrukan dan menjauh. Kurapatkan jari-jari, mempercepat laju motor Jupiter
hitamku sepersekian detik kemudian. Aku tahu
saat ini terlambat menjadi hukum haram.
18.50 WIB. Jalanan menegang. Kendaraan rapat terkunci.
Tak bisa meminggir, lebih-lebih berbalik. Masih setengah perjalanan dan hanya
tinggal sepuluh menit lagi, Ya Allah. Kumohon, Tolonglah..
***
Ini yang terakhir, Mas. Aku berharap kau benar tiba agar
semua selesai dengan kelegaan. Aku tahu dirimu tak pernah tepat waktu. Tapi
tidakkah juga bisa bagi diriku?. Saat ini sedetik nafas bertaruh. Untuk pertama
kalinya aku benar-benar berharap kau disini. Sebagai tumbal. Tumbal bagi rasa
yang mengakar di dalam. Dimana kau sekarang, Mas?
***
“Ya Tuhan, Naya!!!. Naya bangun,
Sayang. Tolong bangun!. Maafkan aku. Aku sungguh tak becus menepati pintamu.
Tapi aku tak bermaksud. Sungguh. Kenapa begini, Naya? Kenapa, Dik !!?”
Suaraku serak. Sesuatu roboh didalam
diriku. Entah apa. Yang kutahu seluruh persendianku lemas dan darahku
mengombak. Segalanya berputar hingga menjadi satu titik. Gelap.
***
“Papa.. Papa sudah bangun?” Suara
kecil memanja itu sangat kuhafal.
“Papa dimana, Izky?”
“Di rumah lah, Papa. Papa gimana
sih..” Izky tersenyum.
Rumah ?. Ah Benarkah?.
Syukurlah ini
cuma..
“Sudah bangun, Nduk? Bagaimana
keadaanmu?” Aku tak menjawab. Mencoba mencerna. Ibu disini. Kenapa?.
“Sabar yah, Nduk. Lapangkan hatimu...”
O Tuhan. Tidak mungkin.
Bukan mimpi. Ini bukan mimpi. Kuremas kedua tanganku dengan erat. Kembali
sesuatu berguncang di dada. Kuat sekali. Jika bisa sekali lagi aku roboh. Atau
hilang dari sadarku selamanya. Tak bisa.
“Tuhan!! Naya!! Naya, Ibu.....”
“Sabar, Nduk. Sabar.” Wanita berkerudung
itu meraih tubuhku. Isaknya tak kalah. Kami beradu air mata beberapa lama. Sebelum
lebih dulu ketegaran diraihnya untuk bicara. Sekali lagi.
“Ini Nduk. Surat ini ditemukan di tas
Naya. Untukmu.”
***
Kau terlambat, Mas. Biar kau tahu
betapa aku berharap kau datang agar surat ini tak harus kau baca. Agar aku tak
mesti melukai hatimu dengan mengatakannya.
AKU
TAK PERNAH MENCINTAIMU, MAS ANDRI!!.
Aku berbohong dengan berpura-pura
tertarik saat pertama kali kita bertemu. Aku hanya jengah dengan tuntutan Bapak
dan Ibu agar aku segera menikah di usiaku yang sudah melewati keremajaannya.
Aku terpaksa menarik simpatimu agar kau jatuh hati padaku. Dan itu tak sulit.
Karena pria sepertimu cenderung memiliki tipe yang sama. Perempuan yang
tampaknya seperti diriku ini. Manis dan sedikit “pemalu” yang kurekayasa secara
sempurna hingga hari H pernikahan kita. Aku tahu aku berdosa padamu, Mas. Tapi
aku tak bisa melumpuhkan hatiku sendiri. Sebongkah rasa merengkuhnya terlalu
kuat. Dan ia bukan untukmu, Mas. Tapi pada karibmu sendiri. Ia kekasihku dulu.
Dan sampai takdir merenggutnya dari tanganku aku tak bisa menghampar jarak
untuk berpura-pura, AKU MASIH MENCINTAINYA. Masih teramat dalam mencintai
laki-laki itu. Meski kau yang menempeli kulitku di hari-hari kita. Meski
diantara kesabaran dan cucuran perhatian. Aku tak bisa, Mas.
Hari ini kurenggangkan hati dengan
mengumpulkan segenap kewarasan, menjernihkan gambaran suamiku sendiri didalam
diri. Aku harap bisa memulai semua dari awal. Untuk mengenalmu secara nyata.
Untuk mendekapmu dengan ikhlas sampai menembus hatiku. Hanya sebelum matahari
tergelincir, Mas. Untuk meyakinkan bahwa aku tak salah berharap. Tapi kau tak
datang. Bahkan sekali saja demi diriku. Kau terlambat, Mas. Kau terlambat!!
Maka izinkanlah aku untuk juga tak
pernah pulang. Berjalan sendiri meraih cinta yang tak pernah menelantarkanku.
Meski ia tak tersentuh. Meski semu. Jangan merindu!. Kau masih punya anak-anak
kita untuk menebus cinta yang tak sempat tereguk. Kau tahu, aku punya cinta
pada mereka. ‘Kita’
masih terjelma dalam diri mereka. Selalu, Mas. Maafkanlah aku...
_Naya_
***
0 komentar
Say something!